Urgensi Penanganan Masalah Stunting di NTB
Mahasiswi Prodi Sosiologi, Universitas Mataram
Urgensi Penanganan Masalah Stunting di NTB
_________
Stunting merupakan masalah kesehatan yang berkaitan dengan masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak, yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.
Tidak hanya itu, penderita stunting umumnya rentan terhadap penyakit, memiliki tingkat kecerdasan di bawah normal serta prokdutivitas rendah. Selain tumbuh kembang anak yang tidak normal, ada beberapa ciri-ciri lain dari anak terkena stunting, diantaranya:
*Wajah tampak lebih muda dari anak seusianya.
*Pertumbuhan gigi terlambat
Performa buruk pada kemampuan fokus dan memori belajarnya.
*Usia 8 - 10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan kontak mata dan berinteraksi terhadap orang di sekitarnya.
*Berat badan balita tidak naik cenderung turun.
*Anak mudah terserang penyakit dan pubertas yang lambat.
Masalah stunting ini menjadi ancaman terhadap kualitas generasi penerus bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan anak yang mengalami stunting tidak hanya terganggu dalam proses tumbuh kembangnya, melainkan juga mengganggu proses perkembangan otak anak yang akan mempengaruhi kemampuan dan prestasi mereka serta kurangnya kreatifitas di usia produktif mereka.
Selain itu, daya tahan tubuh anak penderita stunting yang rendah menyebabkan rentan terkena penyakit. Dengan begitu, penanganan dan pencegahan stunting menjadi salah satu fokus utama pemerintah saat ini.
Dimana kita ketahui bersama bahwa berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021 angka stunting di Indonesia masih mencapai 24,4 persen atau 5,33 juta balita, masih berada di atas standar yang ditetapkan oleh badan kesehatan dunia WHO yaitu 20 persen.
Duabelas provinsi prioritas yang memiliki angka stunting tertinggi secara nasional yang menjadi daerah prioritas percepatan penurunan angka stunting. Salah satunya adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat, berdasarkan data Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2021 menunjukkan prevalensi stunting rata-rata di NTB di atas 30 persen berstatus merah yaitu 31,4 persen.
Lombok Timur menjadi salah satu daerah 10 kabupaten/kota di NTB dengan penyumbang terbesar prevalensi stunting mencapai 37,6 persen. Selanjutnya diikuti oleh Lombok Utara, Lombok Tengah, Bima dan Dompu dengan prevalensi stuntingnya di atas 30 persen.
Sementara 5 kabupaten/kota dengan status prevalensi di bawah 30 persen diantaranya Sumbawa, Lombok Barat, Kota Mataram, Kota Bima dan Sumabawa Barat. Dimana Sumbawa menempati posisi terendah prevalansi stunting mencapai 29,7 persen.
Inspektur utama Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Ari Dwikora Tono, menyatakan target nasional penurunan angka stunting 14 persen dengan laju penurunan stunting 14 persen/tahun harus berada dikisaran 3,4 persen.
Oleh karena itu, Provinsi NTB yang memiliki prevalensi angka stunting di atas 30 persen diharapkan komitmen dan kontribusi maksimal Pemerintah Provinsi NTB dalam percepatan penurunan angka stunting, sehingga pada tahun 2023 bisa menurun di bawah 30 persen, hingga di tahun 2024 target nasional bisa tercapai yang menunjukkan angka stunting di bawah 20 persen dikisaran 17,98 persen.
Gubernur NTB, Zulkieflimansyah mengatakan sebelumnya telah menyusun 4 strategi dalam penanganan percepatan penurunan angka stunting secara terintegrasi, yakni melalui peningkatan SDM, peningkatan kualitas pemberian makan bayi dan anak, peningkatan edukasi gizi, dan penguatan intervensi gizi di Puskesmas dan Posyandu.
Tidak hanya itu, berbagai upaya juga dilakukan oleh BKKBN RI, salah satunya sosialisasi Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting (RAN PASTI) yang dilaksanakan di Kota Mataram, NTB sebagai salah satu dari 12 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia.
Urgensi penanganan masalah stunting dilakukan secara menyeluruh dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Begitu juga di tingkat daerah koordinasi penanganan masalah stunting sampai tingkat yang paling rendah/desa.
Keseriusan pemerintah dalam penanganan masalah stunting juga tertuang melalui Peraturan Presiden (Perpres) 72 tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting, dimana kebijakan ini diharapkan dapat mendorong dan mendukung penururunan stunting.
Tidak hanya itu, Presiden Joko Widodo secara langsung, memberikan mandat kepada Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pelaksana dalam upaya percepatan upaya penurunan stunting nasional.
Perlu kita ketahui bersama sebelumnya, pencegahan awal stunting berawal dari keluarga, kesehatan keluarga yang utama, terutama ibu hamil dan balita 1.000 hari pertama menjadi penentu kesehatan dan tumbuh kembang anak ke depannya, kecukupan gizi yang lengkap sejak dalam kandungan perlu diperhatikan oleh ibu, pengetahuan akan makanan sehat dan bergizi sangat perlu diajarkan sejak dini kepada calon-calon ibu, kebersihan lingkungan dan sanitasi juga tidak luput dari perhatian, karena tidak hanya kurangnya gizi saja yang menyebabkan stunting.
Faktor lingkungan, sanitasi yang tidak bersih juga menjadi salah satu penyebab stunting. Untuk itu, percepatan penurunan stunting menjadi tugas kita bersama, masyarakat, pemerintah dan lembaga-lembaga sosial lainnya harus bekerja sama dengan komitmen yang tinggi dalam membantu mencegah dan penanganan masalah stunting. Konstribusi kita bersama-sama menjadi penentu keberhasilan dari penanganan masalah stunting. (*)
Post a Comment